sebelumnya..
Kehadiran Bintang II #Chapter2
------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------
Sore mendung itu
mulai meneteskan gerimis hujan, dan menyebarkan hawa sejuk. Ruangan gelap
dengan korden jendela yang terbuka, cowok itu menyandarkan kepalanya ke kaca
jendela sambil menatap lurus ke luar, tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.
Matanya menerawang dan pikirannya melayang ke beberapa waktu lalu.
1 tahun yang lalu.
Sebuah kecelakaan
beruntun di jalan Tol yang merenggut nyawa seorang ibu dan anak laki-laki
kecil. Juga merenggut ingatan seorang cewek yang kini diangkat menjadi adiknya.
Vlita. Nama itu
kembali terlintas di pikirannya. Ia menggeleng pelan dan tiba-tiba menunduk.
Namanya Tiara sekarang. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Sekarang.
Dulu? Cowok
itu kembali mendongakkan kepala dan menatap langit berawan diatasnya. Apa Vlita
benar-benar akan menjadi Tiara selamanya? Apakah benar tentang Amnesia Permanen
itu? Walaupun dokter sudah berkata begitu, hati cowok itu masih terganggu.
Tiara juga harus
tau tentang masa lalunya. Hingga sekarang, ia masih tidak mengingat siapakah
Adrian dan Agha dihidupnya. Yang ia ketahui sekarang adalah Adrian sepupunya
dan Agha adalah sahabat Adrian. Mereka memang sering bermain, dan Tiara
hanyalah nama yang menutupi pribadi Vlita didalam tubuh gadis itu. Dia tidak
berubah dari “Vlita” yang dulu.
Cowok itu menatap
rumah pohon ditaman rumahnya dari jendela. Perasaan cowok itu tiba-tiba sesak
akan khawatir. Saat pertama kali dibawa ke rumah Adrian sebagai “Tiara”, Tiara
sempat terserang sakit kepala yang membuat gadis itu menangis dan meronta-ronta
kesakitan.
*flashback*
Adrian membuka
pintu rumah yang diketuk. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu sepupunya yang
pindah ke Indonesia dari Amerika. Dengan senyum lebar, ia menyapa “Hei, apa
kabar?” kepada Rangga yang tersenyum lesu.
Rangga berusaha
merubah senyum lesu itu menjadi senyum ceria seperti ketika pertama kali ia
menginjakan kaki di Indonesia. “Baik. Gimana kabarmu?”
“Haha, biasa aja,”
Adrian mengibaskan tangan. “Ngomong kamu kenapa jadi baku gitu? Kelamaan ga
balik-balik ke Indo, sih..”
Rangga hanya
tersenyum. Jantungnya berdegup menunggui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sebenarnya ia sudah bisa menebak. Bahwa….
“Kak, kak,
dipanggil Mama…” sebuah tangan kecil menarik-narik ujung jaketnya.
“Oh, iya,
sebentar” Rangga menengok sebentar. Kemudian ia langsung melihat ke arah Adrian
yang sudah membeku seketika ditempat. Tatapannya tidak lepas dari seorang gadis
yang masih berada disamping Rangga dengan jarak yang begitu dekat.
“Vlita…” gumamnya.
“Kaakk, ayoooo”
Gadis itu kembali memanggil Rangga dengan sebutan kak.
“Iya sabar dong,
Tiara” Rangga mengalihkan tatapannya dari Adrian dan berbicara pada Tiara.
“Kamu disini dulu, oke?” Rangga sempat ragu sebelum meninggalkan Tiara bersama
Adrian yang masih membeku.
Rangga manggil Vlita, “Tiara”? pikiran Adrian mulai kacau. Berbagai peristiwa yang
menyangkutnya dan Vlita kembali terputar di memori otaknya.
“Halo, Adrian!”
tiba-tiba Tiara bersuara dengan nada cerianya yang biasa.
Adrian mendongak.
Adrian diam, masih tidak bergerak dari tempatnya. Dia Vlita.. Adrian menatap Tiara. Dia Vlita..
“Tiara!” suara
Rangga memanggil. Adrian mendongak sadar dari lamunannya.
“Yaaa?” Tiara pun
menyahut.
“Bawa
barang-barangmu sendiri!” Rangga menunjuk sebuah tas besar dari bagasi mobil,
dan berjalan sambil membawa tasnya sendiri. Dengan segera, Tiara berlari ke
arah mobil.
Adrian menatap
tajam ke arah Rangga menuntut penjelasan.
"Apa?” Rangga
mengerti tatapan itu, tapi ia tetap berusaha santai. “Kayanya kamu udah ketemu
sama dia, ya?”
“Dia Vlita, ya,
kan?” Adrian berkata pelan.
Rangga tetap diam,
menunggu lanjutan kata-kata Adrian.
“Bukan Tiara”
Kata-kata Adrian seolah menyuarakan pernyataan melainkan pertanyaan.
“Ayo bicara di
dalam,” kata Rangga dengan datar.
Tiara mengeluarkan
tasnya dari bagasi mobil. Sebelum ia bawa tasnya, ia melihat kesekeliling. Ia
mengerutkan kening “aku kaya pernah kesini”, katanya.
“Sayang, habis ini
langsung masuk ya. Mama masuk duluan..” Kata mamanya sambil berjalan masuk
menuju gerbang rumah Adrian. Tiara hanya balas mengangguk.
Tiara kembali
menyusuri komplek rumah Adrian dengan matanya. Tiba-tiba matanya hanya terpaku
pada satu rumah, rumah disamping rumah Adrian. Ia memerhatikan setiap detail
dari pagar, pekarangan yang layu, pintu, kaca jendela, dan segalanya yang
terlihat usang dan tidak berpenghuni.
Sesuatu melintas
dipikirannya. Hanya selulet cahaya dan suara. Segalanya terasa begitu familiar, dan dekat. Tiba-tiba ia pusing.
Pusing yang membuatnya menjatuhkan tas tentengnya. Ia memegangi kepalanya,
menekannya supaya tidak terasa sakit. Tapi rasa sakit itu makin menjalar,
ditemani dengan suara-suara dan peristiwa yang berputar terus bagaikan film.
Film acak yang membuat kepalanya semakin sakit.
Tiara terduduk dan
ia menjerit kesakitan, ia seperti tidak bisa melihat apa-apa. Terakhir yang ia
lihat, seorang anak laki-laki menghampirinya dan memanggilnya, “Vlita!!”
Rangga dan Adrian
duduk dimeja makan sementara Mama Adrian dan Mama Rangga mengobrol di ruang
tamu.
“Tolong!!”
Rangga reflex
langsung menoleh, diikuti Adrian yang pikirannya masih kacau. Rangga langsung
berlari keluar tanpa aba-aba. Yang ditebaknya benar. Sesuatu pasti bakal
terjadi. Rangga menghampiri Agha yang panik dan bingung ketika Tiara tidak
berdaya di pangkuannya.
“Rangga, kok..?”
Agha sempat kaget melihat Rangga sudah ada di Jakarta.
“Dia kenapa? Kamu
tau penyebabnya?” Rangga mengabaikan pertanyaan Agha dan langsung balik
bertanya. Adrian sudah tepat disampingnya.
“Dia.. aku nggak
tau pasti, pas aku lagi mau keluar pager rumah tau-tau dia mau jatoh gitu,
yaudah aku tolongin sebelum dia nyium aspal”, Ujar Agha tergagap.
Rangga langsung
mengangkat tubuh adik angkatnya itu dalam diam. Wajahnya mengeras seketika.
Adrian juga diam saja, wajahnya tanpa emosi. Ketika Rangga sudah membawa Tiara
masuk, Adrian dan Agha masih ditempat.
“Yan, Vlita, Yan!
Tadi Vlita kan? Iya, tadi…” Agha langsung meledak dengan senyum lega diwajahnya.
Adrian masih diam.
“Yan? Adrian!
Woy!” panggil Agha lagi.
“Bukan. Itu bukan
Vlita.” Kata Adrian dingin sambil balik badan. “Bukan lagi.” Ia langsung
melangkah.
“Maksudnya apa
bukan lagi?” Agha bertanya pada Adrian yang sudah berjalan didepannya. “Adrian!
Tapi tadi..” Agha langsung menyusul.
Agha tercekat
melihat kedekatan Rangga terhadap Vlita yang sudah mulai sadarkan diri. Rangga
memanggilnya Adik, dan sebuah nama
asing ditelinganya, Tiara. Dia Vlita kan? Tiara? Siapa Tiara? Aku yakin
dia Vlita. Kalau dia bukan Vlita, kemana Vlita sampai sekarang? Agha
membulatkan matanya, Rangga memeluk Vlita! “Hei, apa-apaan…” Agha nyaris
berteriak.
“Gha, dia bukan
Vlita,” Tangan Adrian menahan tubuh Agha dan langsung berbisik disampingnya.
Sebelum Agha berontak lagi, Adrian melanjutkan, “Bukan Vlita yang kita kenal
dulu..” ujarnya lirih.
Mama Adrian juga terlihat
bingung, tapi memahami kondisi. Mama Rangga memberi syarat yang memohon kepada
semua yang berada diruangan itu untuk tidak bertanya atau membuat keadaan
semakin buruk.
Agha masih tidak
percaya dan masih ingin berontak menuntut penjelasan. Adrian berdiri mematung
dengan tatapan sedih yang pasrah. Menunggu kebenaran untuk segera disuarakan.
Sayup-sayup suara
mulai terdengar, wajah pertama yang dilihat yaitu wajah kakaknya, Rangga.
Rangga langsung memeluknya penuh rasa khawatir. Tiara membuka mata lebih lebar
dan mamanya terlihat sangat khawatir, dan juga sepupu, tante, serta anak
laki-laki yang memanggilnya, apa? Vlita?
Ia mengerutkan
kening. Kepalanya mulai terasa sakit lagi. Tiara mengerang pelan.
“Adek kenapa?
Sakit? Hm?” Rangga langsung bertanya sedangkan Tiara masih dalam genggamannya.
Tiara menggeleng.
Sakit dikepalanya terasa semakin menyiksa. Dia tidak kehilangan kesadaran,
melainkan mengerang pelan dan tertahan. Tiara meringkuk dipelukan kakaknya.
“Hm, dia dibawa
langsung kekamar tamu saja. Biar dia istirahat. Kasihan..” Kata Mama Adrian
membuka suara di suasana canggung itu. Mama Rangga mengangguk dan memberi
tepukan pelan ke anaknya untuk menggendong adiknya ke kamar tamu.
Rangga dengan
segera kembali mengangkat tubuh Tiara seperti yang diperintahkan mamanya. Mama
Adrian dan Mama Rangga mengikutinya. Adrian dan Agha kembali mematung ditempat.
Di kamar tamu,
Tiara mulai tenang. Mama dan kakaknya selalu berada disampingnya. “Ma, Tiara
boleh tanya?” suara parau Tiara membuat mamanya menengok, begitu juga Rangga.
“Iya, mau tanya
apa sayang?” Mamanya mengelus lembut rambutnya.
“Hm, nggak jadi,
ma, hehe.” Kata Tiara lemah.
“Ma, Tiara, Rangga
keluar dulu ya.” Rangga keluar dari ruangan dengan wajah datar.
Tiara menatap
punggung Rangga dengan penuh tanya.
Rangga berjalan ke
ruang tamu dan mendapati tatapan tajam dari Adrian dan Agha yang menuntut
penjelasan. Ia menghela napas berat dan duduk disofa. Ia menjelaskan apa yang
ia tahu. Tentang semuanya.
*Flashback End*
Rangga menunduk
dalam, entah apa yang ia rasakan. Ia merasa ia tidak boleh egois. Setidaknya,
Tiara harus tau siapa dulu dia yang sebenarnya. Siapa Adrian dan Agha
sebenarnya dimata tiara. Karena bagaimanapun, Adrian dan Agha lah yang mengenal
Tiara hm, Vlita lebih dulu darinya.
Tapi… Rangga
kembali menempelkan kepala ke kaca jendela yang berembun. Menulis sebuah nama, Tiara.
Ya, rasa khawatir
akan kehilangan Tiara lebih menguasainya. Ia takut Tiara akan marah padanya
karena telah berbohong, dan menyembunyikan semuanya darinya hingga sekarang. Ia
takut Tiara akan pergi meninggalkannya..
Rangga menggeleng
pelan, lirih.
Beberapa menit
berlalu, Rangga tetap berada dalam posisinya. Hujan makin deras bersama petir
yang menjadi-jadi. Matanya kembali menyusuri taman didepan rumahnya. Ia melihat
sesuatu bergerak dari rumah pohon. Ia memfokuskan tatapannya agar tidak salah
lihat.
Ada seseorang…
Tiara!
“Gila adek ngapain
disitu? Aduh diaa…. Hujan begini..” Rangga langsung bangkit dari tempat
duduknya, membawa selimut tebal dan jaket.
Ia menyusul Tiara
yang duduk agak dalam di rumah pohon dengan basah kuyup. “Tiara! Adek ngapain
disitu aduh..” Rangga berhenti mengomel ketika Tiara menyapanya dengan senyum
lemah dan bibir bergetar.
“kakak.. hehe”
Rangga langsung
menyelimutinya dengan selimut yang ia bawa. Tubuh Tiara lumayan berguncang, dan
badannya hangat. “Tiara ngapain disini, hm? Tuh kan mulai demam..
hujan-hujannya juga ya? Udah berapa kali kakak bilangin, jangan hujan-hujanan..
kamu kan..”
“Sstt, kakak diem
deh. Tiara ngerti kok..” Tiara memotong kata-kata Rangga dengan wajah polosnya
yang biasa. “nih, Tiara jelasin ya. Tadi tuh aku lagi main-main disini, tuh..
gambar-gambar.. ehh tau-tau hujan, deres lagi, ya aku mau turun takut
kepeleset.. terus, aku ngeliatin kakak dari sini, dari tadi kakak disitu kan?
Depan jendela kan? Hehe.” Tiara menyeringai.
“Kamu tuh…” Rangga
mengacak-ngacak rambut Tiara yang agak basah. “Iya deh, kakak ketauan, hehe.
Jadi sekarang Tiara ada yang nemenin ya disini, we..” Rangga menjulurkan lidah.
“Tadi kakak bikin
nama ‘Tiara’ kan di kaca… hehehe adek liaattt….” Senyum Tiara makin melebar.
“Ssstt, udah, kamu
apa sih. Hahaha”
Rangga semakin yakin
ia tidak ingin kehilangan adiknya ini. Tampaknya ia sudah terlalu sayang.
“Sepi banget..” Agha memainkan kerikil-kerikil ditangannya. Ia tidur tengkurep menatap rumah didepannya yang
sudah menjadi rumah kosong. Biasanya, ia akan melempari kerikil-kerikil ini
kearah jendela rumah depannya.
“oh iya, Vlita
udah ga ada. Adanya Tiara”. Agha mulai termenung. “Dia udah bener-bener lupa
berarti sama aku. Huft.. padahal..”
“hah. Lupakan”
Agha bangkit sambil melempari kerikil-kerikil itu kelantai. “Apa harus mulai
dari awal.” Agha menatap kelangit. satu bintang berkelip seketika.
BERSAMBUNG