Pages

Friday, June 22, 2012

Kehadiran Bintang II #Chapter3

sebelumnya..  Kehadiran Bintang II #Chapter2

------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------

Sore mendung itu mulai meneteskan gerimis hujan, dan menyebarkan hawa sejuk. Ruangan gelap dengan korden jendela yang terbuka, cowok itu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela sambil menatap lurus ke luar, tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Matanya menerawang dan pikirannya melayang ke beberapa waktu lalu.

1 tahun yang lalu.

Sebuah kecelakaan beruntun di jalan Tol yang merenggut nyawa seorang ibu dan anak laki-laki kecil. Juga merenggut ingatan seorang cewek yang kini diangkat menjadi adiknya.

Vlita. Nama itu kembali terlintas di pikirannya. Ia menggeleng pelan dan tiba-tiba menunduk. Namanya Tiara sekarang. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Sekarang.

Dulu? Cowok itu kembali mendongakkan kepala dan menatap langit berawan diatasnya. Apa Vlita benar-benar akan menjadi Tiara selamanya? Apakah benar tentang Amnesia Permanen itu? Walaupun dokter sudah berkata begitu, hati cowok itu masih terganggu.

Tiara juga harus tau tentang masa lalunya. Hingga sekarang, ia masih tidak mengingat siapakah Adrian dan Agha dihidupnya. Yang ia ketahui sekarang adalah Adrian sepupunya dan Agha adalah sahabat Adrian. Mereka memang sering bermain, dan Tiara hanyalah nama yang menutupi pribadi Vlita didalam tubuh gadis itu. Dia tidak berubah dari “Vlita” yang dulu.

Cowok itu menatap rumah pohon ditaman rumahnya dari jendela. Perasaan cowok itu tiba-tiba sesak akan khawatir. Saat pertama kali dibawa ke rumah Adrian sebagai “Tiara”, Tiara sempat terserang sakit kepala yang membuat gadis itu menangis dan meronta-ronta kesakitan.


*flashback*


Adrian membuka pintu rumah yang diketuk. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu sepupunya yang pindah ke Indonesia dari Amerika. Dengan senyum lebar, ia menyapa “Hei, apa kabar?” kepada Rangga yang tersenyum lesu.

Rangga berusaha merubah senyum lesu itu menjadi senyum ceria seperti ketika pertama kali ia menginjakan kaki di Indonesia. “Baik. Gimana kabarmu?”

“Haha, biasa aja,” Adrian mengibaskan tangan. “Ngomong kamu kenapa jadi baku gitu? Kelamaan ga balik-balik ke Indo, sih..”

Rangga hanya tersenyum. Jantungnya berdegup menunggui apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebenarnya ia sudah bisa menebak. Bahwa….

“Kak, kak, dipanggil Mama…” sebuah tangan kecil menarik-narik ujung jaketnya.

“Oh, iya, sebentar” Rangga menengok sebentar. Kemudian ia langsung melihat ke arah Adrian yang sudah membeku seketika ditempat. Tatapannya tidak lepas dari seorang gadis yang masih berada disamping Rangga dengan jarak yang begitu dekat.

“Vlita…” gumamnya.

“Kaakk, ayoooo” Gadis itu kembali memanggil Rangga dengan sebutan kak.

“Iya sabar dong, Tiara” Rangga mengalihkan tatapannya dari Adrian dan berbicara pada Tiara. “Kamu disini dulu, oke?” Rangga sempat ragu sebelum meninggalkan Tiara bersama Adrian yang masih membeku.

Rangga manggil Vlita, “Tiara”? pikiran Adrian mulai kacau. Berbagai peristiwa yang menyangkutnya dan Vlita kembali terputar di memori otaknya.

“Halo, Adrian!” tiba-tiba Tiara bersuara dengan nada cerianya yang biasa.

Adrian mendongak. Adrian diam, masih tidak bergerak dari tempatnya. Dia Vlita.. Adrian menatap Tiara. Dia Vlita..

“Tiara!” suara Rangga memanggil. Adrian mendongak sadar dari lamunannya.

“Yaaa?” Tiara pun menyahut.

“Bawa barang-barangmu sendiri!” Rangga menunjuk sebuah tas besar dari bagasi mobil, dan berjalan sambil membawa tasnya sendiri. Dengan segera, Tiara berlari ke arah mobil.

Adrian menatap tajam ke arah Rangga menuntut penjelasan.

"Apa?” Rangga mengerti tatapan itu, tapi ia tetap berusaha santai. “Kayanya kamu udah ketemu sama dia, ya?”

“Dia Vlita, ya, kan?” Adrian berkata pelan.

Rangga tetap diam, menunggu lanjutan kata-kata Adrian.

“Bukan Tiara” Kata-kata Adrian seolah menyuarakan pernyataan melainkan pertanyaan.

“Ayo bicara di dalam,” kata Rangga dengan datar.


Tiara mengeluarkan tasnya dari bagasi mobil. Sebelum ia bawa tasnya, ia melihat kesekeliling. Ia mengerutkan kening “aku kaya pernah kesini”, katanya.

“Sayang, habis ini langsung masuk ya. Mama masuk duluan..” Kata mamanya sambil berjalan masuk menuju gerbang rumah Adrian. Tiara hanya balas mengangguk.

Tiara kembali menyusuri komplek rumah Adrian dengan matanya. Tiba-tiba matanya hanya terpaku pada satu rumah, rumah disamping rumah Adrian. Ia memerhatikan setiap detail dari pagar, pekarangan yang layu, pintu, kaca jendela, dan segalanya yang terlihat usang dan tidak berpenghuni.

Sesuatu melintas dipikirannya. Hanya selulet cahaya dan suara. Segalanya terasa begitu familiar, dan dekat. Tiba-tiba ia pusing. Pusing yang membuatnya menjatuhkan tas tentengnya. Ia memegangi kepalanya, menekannya supaya tidak terasa sakit. Tapi rasa sakit itu makin menjalar, ditemani dengan suara-suara dan peristiwa yang berputar terus bagaikan film. Film acak yang membuat kepalanya semakin sakit.

Tiara terduduk dan ia menjerit kesakitan, ia seperti tidak bisa melihat apa-apa. Terakhir yang ia lihat, seorang anak laki-laki menghampirinya dan memanggilnya, “Vlita!!”



Rangga dan Adrian duduk dimeja makan sementara Mama Adrian dan Mama Rangga mengobrol di ruang tamu.

“Tolong!!”

Rangga reflex langsung menoleh, diikuti Adrian yang pikirannya masih kacau. Rangga langsung berlari keluar tanpa aba-aba. Yang ditebaknya benar. Sesuatu pasti bakal terjadi. Rangga menghampiri Agha yang panik dan bingung ketika Tiara tidak berdaya di pangkuannya.

“Rangga, kok..?” Agha sempat kaget melihat Rangga sudah ada di Jakarta.

“Dia kenapa? Kamu tau penyebabnya?” Rangga mengabaikan pertanyaan Agha dan langsung balik bertanya. Adrian sudah tepat disampingnya.

“Dia.. aku nggak tau pasti, pas aku lagi mau keluar pager rumah tau-tau dia mau jatoh gitu, yaudah aku tolongin sebelum dia nyium aspal”, Ujar Agha tergagap.

Rangga langsung mengangkat tubuh adik angkatnya itu dalam diam. Wajahnya mengeras seketika. Adrian juga diam saja, wajahnya tanpa emosi. Ketika Rangga sudah membawa Tiara masuk, Adrian dan Agha masih ditempat.

“Yan, Vlita, Yan! Tadi Vlita kan? Iya, tadi…” Agha langsung meledak dengan senyum lega diwajahnya.

Adrian masih diam.

“Yan? Adrian! Woy!” panggil Agha lagi.

“Bukan. Itu bukan Vlita.” Kata Adrian dingin sambil balik badan. “Bukan lagi.” Ia langsung melangkah.

“Maksudnya apa bukan lagi?” Agha bertanya pada Adrian yang sudah berjalan didepannya. “Adrian! Tapi tadi..” Agha langsung menyusul.

Agha tercekat melihat kedekatan Rangga terhadap Vlita yang sudah mulai sadarkan diri. Rangga memanggilnya Adik, dan sebuah nama asing ditelinganya, Tiara. Dia Vlita kan? Tiara? Siapa Tiara? Aku yakin dia Vlita. Kalau dia bukan Vlita, kemana Vlita sampai sekarang? Agha membulatkan matanya, Rangga memeluk Vlita! “Hei, apa-apaan…” Agha nyaris berteriak.

“Gha, dia bukan Vlita,” Tangan Adrian menahan tubuh Agha dan langsung berbisik disampingnya. Sebelum Agha berontak lagi, Adrian melanjutkan, “Bukan Vlita yang kita kenal dulu..” ujarnya lirih.

Mama Adrian juga terlihat bingung, tapi memahami kondisi. Mama Rangga memberi syarat yang memohon kepada semua yang berada diruangan itu untuk tidak bertanya atau membuat keadaan semakin buruk.
Agha masih tidak percaya dan masih ingin berontak menuntut penjelasan. Adrian berdiri mematung dengan tatapan sedih yang pasrah. Menunggu kebenaran untuk segera disuarakan.


Sayup-sayup suara mulai terdengar, wajah pertama yang dilihat yaitu wajah kakaknya, Rangga. Rangga langsung memeluknya penuh rasa khawatir. Tiara membuka mata lebih lebar dan mamanya terlihat sangat khawatir, dan juga sepupu, tante, serta anak laki-laki yang memanggilnya, apa? Vlita?

Ia mengerutkan kening. Kepalanya mulai terasa sakit lagi. Tiara mengerang pelan.

“Adek kenapa? Sakit? Hm?” Rangga langsung bertanya sedangkan Tiara masih dalam genggamannya.

Tiara menggeleng. Sakit dikepalanya terasa semakin menyiksa. Dia tidak kehilangan kesadaran, melainkan mengerang pelan dan tertahan. Tiara meringkuk dipelukan kakaknya.

“Hm, dia dibawa langsung kekamar tamu saja. Biar dia istirahat. Kasihan..” Kata Mama Adrian membuka suara di suasana canggung itu. Mama Rangga mengangguk dan memberi tepukan pelan ke anaknya untuk menggendong adiknya ke kamar tamu.

Rangga dengan segera kembali mengangkat tubuh Tiara seperti yang diperintahkan mamanya. Mama Adrian dan Mama Rangga mengikutinya. Adrian dan Agha kembali mematung ditempat.

Di kamar tamu, Tiara mulai tenang. Mama dan kakaknya selalu berada disampingnya. “Ma, Tiara boleh tanya?” suara parau Tiara membuat mamanya menengok, begitu juga Rangga.

“Iya, mau tanya apa sayang?” Mamanya mengelus lembut rambutnya.

“Hm, nggak jadi, ma, hehe.” Kata Tiara lemah.

“Ma, Tiara, Rangga keluar dulu ya.” Rangga keluar dari ruangan dengan wajah datar.

Tiara menatap punggung Rangga dengan penuh tanya.

Rangga berjalan ke ruang tamu dan mendapati tatapan tajam dari Adrian dan Agha yang menuntut penjelasan. Ia menghela napas berat dan duduk disofa. Ia menjelaskan apa yang ia tahu. Tentang semuanya.



*Flashback End*


Rangga menunduk dalam, entah apa yang ia rasakan. Ia merasa ia tidak boleh egois. Setidaknya, Tiara harus tau siapa dulu dia yang sebenarnya. Siapa Adrian dan Agha sebenarnya dimata tiara. Karena bagaimanapun, Adrian dan Agha lah yang mengenal Tiara hm, Vlita lebih dulu darinya.

Tapi… Rangga kembali menempelkan kepala ke kaca jendela yang berembun. Menulis sebuah nama, Tiara.

Ya, rasa khawatir akan kehilangan Tiara lebih menguasainya. Ia takut Tiara akan marah padanya karena telah berbohong, dan menyembunyikan semuanya darinya hingga sekarang. Ia takut Tiara akan pergi meninggalkannya..

Rangga menggeleng pelan, lirih.

Beberapa menit berlalu, Rangga tetap berada dalam posisinya. Hujan makin deras bersama petir yang menjadi-jadi. Matanya kembali menyusuri taman didepan rumahnya. Ia melihat sesuatu bergerak dari rumah pohon. Ia memfokuskan tatapannya agar tidak salah lihat.

Ada seseorang… Tiara!

“Gila adek ngapain disitu? Aduh diaa…. Hujan begini..” Rangga langsung bangkit dari tempat duduknya, membawa selimut tebal dan jaket.

Ia menyusul Tiara yang duduk agak dalam di rumah pohon dengan basah kuyup. “Tiara! Adek ngapain disitu aduh..” Rangga berhenti mengomel ketika Tiara menyapanya dengan senyum lemah dan bibir bergetar.

“kakak.. hehe”

Rangga langsung menyelimutinya dengan selimut yang ia bawa. Tubuh Tiara lumayan berguncang, dan badannya hangat. “Tiara ngapain disini, hm? Tuh kan mulai demam.. hujan-hujannya juga ya? Udah berapa kali kakak bilangin, jangan hujan-hujanan.. kamu kan..”

“Sstt, kakak diem deh. Tiara ngerti kok..” Tiara memotong kata-kata Rangga dengan wajah polosnya yang biasa. “nih, Tiara jelasin ya. Tadi tuh aku lagi main-main disini, tuh.. gambar-gambar.. ehh tau-tau hujan, deres lagi, ya aku mau turun takut kepeleset.. terus, aku ngeliatin kakak dari sini, dari tadi kakak disitu kan? Depan jendela kan? Hehe.” Tiara menyeringai.

“Kamu tuh…” Rangga mengacak-ngacak rambut Tiara yang agak basah. “Iya deh, kakak ketauan, hehe. Jadi sekarang Tiara ada yang nemenin ya disini, we..” Rangga menjulurkan lidah.

“Tadi kakak bikin nama ‘Tiara’ kan di kaca… hehehe adek liaattt….” Senyum Tiara makin melebar.

“Ssstt, udah, kamu apa sih. Hahaha”

Rangga semakin yakin ia tidak ingin kehilangan adiknya ini. Tampaknya ia sudah terlalu sayang.





            “Sepi banget..” Agha memainkan kerikil-kerikil ditangannya. Ia tidur tengkurep menatap rumah didepannya yang sudah menjadi rumah kosong. Biasanya, ia akan melempari kerikil-kerikil ini kearah jendela rumah depannya.

“oh iya, Vlita udah ga ada. Adanya Tiara”. Agha mulai termenung. “Dia udah bener-bener lupa berarti sama aku. Huft.. padahal..”

“hah. Lupakan” Agha bangkit sambil melempari kerikil-kerikil itu kelantai. “Apa harus mulai dari awal.” Agha menatap kelangit. satu bintang berkelip seketika. 





BERSAMBUNG










2 comments:

Any comments?

22 YEARS OF EXISTENCE + a throwback

I always thought the age 22 is very mature, like you've experienced so much in life, you'll be wiser with your adulting stuff, but...