Pages

Sunday, January 6, 2013

Next Chapter.

Disuatu malam yang dingin, aku tengah berpikir. Mengambil ponsel genggam, membuka memo, dan mengetik beberapa kata yang terucap dari hati kecilku yang tumbuh dewasa ini.

Hidupku rasanya benar-benar berubah. Aku tahu aku akan melewati masa ini. Aku akan mengalami hal-hal semacam ini. Aku sudah tau sejak ulang tahunku yang makin terlupakan. Aku tumbuh dewasa.

Kadang aku tidak ingin tumbuh dewasa. Meninggalkan masa kecilku yang hanya mencintai mama dan ayah, bertengkar dengan adik-kakak karna masalah sepele, bermain dengan teman-teman sebaya, dan naik kelas adalah hal biasa dan bukanlah hal besar.

Tapi semakin lama aku memasuki dunia peralihan ini, aku lebih ingin cepat-cepat tumbuh dewasa. menjalani kehidupan sesungguhnya. Bekerja, menghasilkan uang sendiri untuk keperluan pribadi, sukses dan membanggakan orang tua. Dan yang paling penting, berkeluarga.

Sementara di dunia peralihan ini, rasanya seperti aku terjebak didalamnya. Belum menemukan suatu tujuan untuk lanjut ke tahapan selanjutnya. Rasanya belum menentukan kutub untuk melangkah. Aku masih buta. Aku benar-benar butuh kaca mata apapun yang bisa membantuku melihat kutub takdirku, dan melangkah menujunya.

Bisa dibilang, aku lelah. Aku capek. Aku merasa...kosong. Menjalani rutinitas sambil berharap semuanya segera selesai di tiap harinya. Tanpa ada sesuatu yang membuat hatiku tergerak untuk merasakan sesuatu. Aku merindukan gejolak-gejolak didalam hatiku. Yang menandakan bahwa aku masih hidup dan aku bisa merasakan segala hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Aku benar-benar merindukan bagaimana dulu aku menjalankan rutinitas sekolah dengan riang dan mengikuti segala kegiatan sekolah dengan semangat. Meskipun bukan yang terbaik di kelas, setidaknya aku bisa yakin kalau aku memiliki teman-teman luar biasa yang memberiku banyak pelajaran dari tingkah laku dan pengalaman hidup mereka. Serta guru-guru tak tergantikan yang selalu hadir untuk menuntunku ke jalan yang lebih baik.

Sekarang... aku hanya merasa kosong. Aku tetap tersenyum dan masih bisa tertawa didalam keadaan baru dan lingkungan baru ini. Hanya sajarasanya....hambar. Aku sendiri bingung bagaimana untuk mengatakannya.

Dan aku rindu orang tuaku. Sangat. Aku rindu berbelanja di supermarket berlima, dengan makan malam bersama sebelumnya disuatu restaurant/foodcourt. Mengobrol tentang hari-hari kami sang anak. Atau berkaraoke ditiap 2 minggu ayah pulang ke rumah. Sekadar untuk senang-senang dan tanpa sadar melatih suara kami agar menjadi lebih baik. Entah sejak kapan rutinitas itu menghilang dari keluarga kami.

Kini ayahku pindah kerja lebih jauh lagi. Mamaku pun semakin sibuk di kantor, entah karena dinas atau karena tamu, dan hal-hal lain yang tidak ingin aku tanyakan. Kami semakin jarang bertemu. Tinggalah aku dan kakak-adikku bersama bibik dirumah. Seperti di sinetron saja.

Bukannya semakin akrab aku dan kakak-adikku, kami malah sibuk dengan urusang masing-masing. Seperti robot yang terprogram melakukan rutinitas tanpa ketertarikan melakukan hal bersama orang lain. Tanpa hadirnya orang tua yang sesering dulu.. Aku merindukan keluargaku. Boleh kan aku marah kalau ini tidak adil?
Melihat orang-orang sekitarku yang rasanya begitu dekat dengan keluarganya. Dapat bercerita apa saja kepada ibunya, mendapat perlindungan ekstra dari ayahnya. Apa aku akan berdosa jika aku merasa iri pada mereka? aku hanya ingin merasakan semua itu di masa peralihan (menyebalkan) ini. 

Satu-satunya hal yang bisa membuatku tersenyum ketika dirumah adalah adikku yang mulai tumbuh remaja ini. Ia mau bercerita padaku tentang seorang gadis disekolahnya. Aku terharu. Dan aku tau dia akan lebih beruntung daripada aku dulu. 

Tuhan, berikan aku petunjuk, bintang biru, remah roti, apapun, agar aku bisa menuju apa yang menjadi alasanku dilahirkan ke dunia ini.

Tuhan, kembalikan keluargaku seperti yang kukenal dulu. Aku merindukan segala kehangatan dan kasih sayang orang tua didalam tubuhku. Aku rela mengemis pada-Mu untuk itu.

Tuhan, kuatkan aku agar aku tidak menjadi gadis yang cengeng. Karena selama ini aku telah menjadi manja dengan segala air mata yang aku tumpahkan sia-sia.

Tuhan, lindungilah semua orang yang ku sayang. Ambilah nyawaku sebagai jaminannya. 

Tuhan, aku mohon kabulkan doa-doaku ini..

Dan ditengah malam perjalanan rek kereta api ini, aku benar-benar merasa berebeda. Aku menyadari sesuatu dan menanamkannya baik-baik didalam pikiranku. Aku tidak hidup di masa lalu. Aku hidup di masa kini, jadi aku harus menjalani hidupku baik-baik untuk bisa hidup sukses dan selayaknya di masa depan.

Aku harus lebih memerhatikan keadaan sekitarku dan apa yang menungguku didepan dengan segala bekal dari apa yang kupelajari dibelakang. 

Aku tidak akan melupakan masa laluku yang memang sangat singkat namun memiliki banyak arti dihidupku. Aku hanya akan menyiapkan lembaran-lembaran baru, dan ku tulis perjalanan hidupku dengan lebih dewasa. 

Aku hanya terus berharap bahwa aku sanggup melewatinya hingga titik akhir hidupku. Dan menyelesaikan kisah hidupku ini. 

Hm, next chapter




22:53 || Sat/Jan/5/2013 || Midnight train to Jakarta || Freezing nose.|| -T-

No comments:

Post a Comment

Any comments?

22 YEARS OF EXISTENCE + a throwback

I always thought the age 22 is very mature, like you've experienced so much in life, you'll be wiser with your adulting stuff, but...